Minggu, 20 April 2014

Sindrom Steven Johnson (SSJ)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sindrom Stevens-Johnson merupakan reaksi hipersensitivitas kompleks imun pada mukokutan yang paling sering disebabkan oleh obat-obatan dan lebih sedikit oleh infeksi.Sindrom Stevens-Johnson adalah kelainan yang ditandai dengan cepatnya perluasan ruam makula, sering dengan lesi target atipikal (datar, irreguler),dan keterlibatan lebih dari satu mukosa (rongga mulut, konjungtiva, dan genital. Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun, kebawah kemudian umurnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma, mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodiomal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala,batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Sindrom Steven Johnson ditemukan oleh dua dokter anak Amerika. A.M. Steven dan S.C Johnson, 1992 Sindrom Steven Johnson yang bisa disingkat SSJ merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan.Angka kejadian Sindrom Steven Johnson sebenarnya sekitar 1-14 per 1 juta penduduk. Sindrom Steven Johnson dapat timbul sebagai gatal-gatal hebat pada mulanya, diikuti dengan bengkak dan kemerahan pada kulit. Setelah beberapa waktu, bila obat yang menyebabkan tidak dihentikan, serta dapat timbul demam, sariawan pada mulut, mata, anus,dan kemaluan serta dapat terjadi luka-luka seperti keropeng pada kulit.
Namun pada keadaan-keadaan kelainan sistem imun seperti HIV dan AIDSangka kejadiannya dapat meningkat secara tajam.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk memberikan pemahaman nyata tentang pelayanan kesehatan dengan Kasus Sindrom Steven Johnson.

1.2.2 Tujuan Khusus  
Tujuan khusus dalam makalah ini,mahasiswa mengetahui :
1.Definisi Sindroma Steven Jonshon
2.Epidemiologi Sindroma Steven Jonshon
3.Etiologi Sindroma Steven Jonshon
4.Gejala Klinis Sindroma Steven Jonshon
5.Patofisiologi Sindroma Steven Jonshon
6.Diagnosa dan Diagnosa Banding Sindroma Steven Jonshon
7.Penatalaksanaan Sindroma Steven Jonshon
8.Komplikasi Sindroma Steven Jonshon
9.Prognosis Sindroma Steven Jonshon


1.3 Manfaat Penelitian
1.3.1 Bagi Institusi Pendidikan
Dengan adanya karya tulis ilmiah ini institusi pendidikan berhasil menjadikan mahasiswa lebih mandiri dan menambah wawasan pengetahuan para mahasiswa.
1.3.2 Bagi Pembaca
Dengan adanya karya tulis ilmiah ini,dapat menambah ilmu pengetahuan    dan wawasan mahasiswa tentang Sindoma Steven Jonhson sehigga mahasiswa dapat mendiagnosa dengan tepat dan membuat rencana solusi terhadap kelainan yang didapat pada Sindroma Steven Jonhson.









BAB II
 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk.
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan di mukosa dan konjungtivitis.
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura.
2.2 Epidemiologi
Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi,kejadian sindroma steven jonshon terjadi 1-3 kasus per satu juta penduduk setiap tahun nya.Sindroma steven jonshon juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras Kaukasia.Walaupun sindroma steven jonshon dapat mempengaruhi orang setiap umur,tampaknya perempuan sedikit lebih rentan dari pada laki-laki.



2.3 Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yangdapat dianggap sebagai penyebab adalah:
1.Alergi obat secara sistemik (misalnya analgetik,antipiuretik)
·         Penisilline dan semisentetiknya

·         Sthreptomicine

·         Sulfonamida

·         Tetrasiklin


·         Antipiretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol,metampiron dan paracetamol)

·         Klorpromazin


·         Karbamazepin

·         Tegretol
2.Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
-Infeksivirus,jamur: Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae, , histoplasma
- bakteri: streptokokus, Staphylococcs haemolyticus, Mycobacterium tuberculosis,   salmonela
- parasit: malaria
3.Neoplasma dan faktor endokrin
4.Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
5.Makanan (coklat)

2.4 Gejala Klinis
a) Gejala Klinis Umum
Secara umum gejala klinis Sindrom Stevens-Johnson didahului gejala prodormal seperti demam, malaise, batuk, sakit kepala, pilek dan nyeri tenggorok. Gejala prodormal ini dapat berlangsung selama dua minggu dan bervariasi dari ringan sampai berat. Pada keadaan ringan kesadaran pasien baik, sedangkan dalam keadaan yang berat gejala-gejala menjadi lebih hebat, sehingga kesadaran pasien menurun bahkan sampai koma.
           



b) Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel danbula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.

c). Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtivitis purulen, perdarahan, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain,misalnya: nefritis dan onikolisis
 d) Gejala pada Genital
Lesi pada genital dapat menyebabkan uretritis, balanitis dan vulvovaginitis. Balanitis adalah inflamasi pada glans penis (Gambar 2.3)

e) Gejala pada Rongga Mulut
Lesi oral mempunyai karakteristik yang lebih bervariasi daripada lesi kulit, seluruh permukaan oral dapat terlibat, namun lesi oral lebih cenderung banyak terjadi pada bibir, lidah palatum mole, palatum durum, mukosa pipi sedangkan pada gusi relatif jarang terjadi lesi(Pindborg, 1994; Langlais and Miller, 2003)



 2.5 Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, kemungkinan disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.
Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir.Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel   terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut.
 Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel Tpenghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadipenghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel inibersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.
2.6 Diagnosa dan Diagnosa Banding
Diagnosa sebaiknya dilakukan sedini mungkin agar perawatan dapat segera dilakukansehingga hasilnya akan lebih memuaskan dan prognosis yang buruk dari sindrom Stevens-Johnson dapat dihindarkan. Penegakkan diagnosis sulit dilakukan karena seringkali terdapat berbagai macam bentuk lesi yang timbul bersamaan atau bertahap. Diagnosa Sindrom Stevens-Johnson terutama berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang.
2.6.1Anamnesa
Anamnesis yang dilakukan meliputi:keluhan utama, riwayat penyakit yang sedang dan pernah diderita,riwayat penyakit keluarga, riwayat menggunakan obat secara sistemik, serta riwayat timbulnya erupsi kulit.

2.6.2Pemeriksaan Fisik
o   Diawali oleh penyakit peradangan akut yang disertai gejala prodormal berupa:demam, malaise, batuk, sakit kepala, pilek dan nyeri tenggorok.
o   Tiga gejala yang khas yaitu kelainan pada mulut berupa stomatitis, kelainan pada mata berupa konjungtivitis, kelainan pada genital berupa balanitis dan vulvovaginitis.
o   Keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk dan kesadaran penderita mulai dari sopor  bahkan menurun sampai koma.
o   Berhubungan dengan reaksi alergi terhadap obat tertentu secara sistemik, imunologi, atau kombinasinya.
o   Manifestasi oral biasanya  timbul setelah erupsi kulit, tetapi adakalanya timbul mendahului erupsi kulit.Pada lesi kulit terdapat makula, vesikel atau bula, dapat disertai purpura yang tersebar luas pada tubuh.
o   Terdapat pengelupasan epidermis seluas kurang dari 10% area permukaan tubuh
2.6.3Pemeriksaan Penunjang
o   Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
o    Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
o    Imunologi : Dijumpai deposit IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA
2.6.4Diagnosa Banding
ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson :
1.Toxic Epidermolysis Necroticans.
Sindroma steven johnson sangat dekat dengan TEN(nekrosis epidermal toksik). SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.
2.Konjungtivitis membranosa, ditandai dengan adanya massa putih atau kekuningan yang menutupi konjungtiva palpebra bahkan sampai konjungtiva bulbi dan bila diangkat timbul perdarahan.

2.7 KOMPLIKASI
komplikasi yang tersering ialah bronkopneumia yang didapati sejumlah 80 % diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan syok pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan laksimasi.
       1.      Bronkopneumonia (16%)
       2.      sepsis
       3.      kehilangan cairan/darah
       4.      gangguan keseimbangan elektrolit
       5.      syok
       6.      kebutaan gangguan lakrimasi



 2.8 Penatalaksanaan
Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang dicurigai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah keburukan. Orang dengan SSJ/TEN biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SJS biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan. Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis. Obat nyeri,misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman.
Dalam penggunaan kortikosteroid harus hati-hati,karena dapat menekan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan sistem kekebalan yang sudah lemah.Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah :

·         Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.

·         Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.

·         Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak  bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan,namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal.Feniramin hidrogen maleat(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapa tdiberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.

·         Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.

·         Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit

·         Lesi mulut diberi kanalog in orabase.

·         Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.



·         Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3,4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS.Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan :

-Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola mata.

-Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya perlekatan konjungtiva


2.9 PROGNOSIS

Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.



BAB III
Kesimpulan dan Saran

3.1 Kesimpulan

Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yangterdiri dari eropsi kulit, kelainan mukosa dan konjungtivitis dengan keadaanumum bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupaeritema, vesikel/bula dapat disertai purpura. Penyebab dari penyakit SSJ inibelum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab infeksi virus, jamu, bakteri, obat, makanan, dan lain-lain.sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa kelainan kulit, kelainan selaput lendir, kelainan mukosa, kelainan mata. Adapun diagnosanya berupagangguan integritas kulit, gangguan nutrisi, gangguan nyaman, gangguan intoleransi aktivitas, gangguan persepsi sensori.

3.2 SARAN
Mahasiswa dapat melakukan penanganan dengan tepat terhadap pasien yang mengalami sindroma Steven Jonson dilapangan,Agar mencegah terjadinya komplikasi lebi lanjut pada sindroma Steven Jonson.
Diharapkan pada penulisan karya tulis ilmiah ini pembaca dapat memberikan saran atau pun sumbangan pengetahuannya terhadap sindroma Steven Jhonson  supaya mampu mewujudkan penatalaksaan yang lebih baik mengenai sindroma Steven Jhonson ini.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

·         Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
·         Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

·         Davis, Mark D., Rogers, Roy S., Pittelkow, Mark R. (2002). Recurrent Erythema Multiforme/Stevens-Johnson Syndrome. Arch Dermatol vol.138 Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.

Senin, 08 Agustus 2011

Pernapasan


Histologi sistem pernapasan
Sistem pernapasan merupakan sistem yang berfungsi untuk mengabsorbsi oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dalam tubuh yang bertujuan untuk mempertahankan homeostasis. Fungsi ini disebut sebagai respirasi. Sistem pernapasan dimulai dari rongga hidung/mulut hingga ke alveolus, di mana pada alveolus terjadi pertukaran oksigen dan karbondioksida dengan pembuluh darah.
Sistem pernapasan biasanya dibagi menjadi 2 daerah utama:
  1. Bagian konduksi, meliputi rongga hidung, nasofaring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan bronkiolus terminalis
  2. Bagian respirasi, meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveolus.

saluran pernapasan, secara umum dibagi menjadi pars konduksi dan pars respirasi
Sebagian besar bagian konduksi dilapisi epitel respirasi, yaitu epitel bertingkat silindris bersilia dengan sel goblet. Dengan menggunakan mikroskop elektron dapat dilihat ada 5 macam sel epitel respirasi yaitu sel silindris bersilia, sel goblet mukosa, sel sikat (brush cells), sel basal, dan sel granul kecil.

epitel respiratorik, berupa epitel bertingkat silindris bersilia dengan sel goblet
Rongga hidung
Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum di sekitar nares terdapat kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung). Epitel di dalam vestibulum merupakan epitel respirasi sebelum memasuki fosa nasalis. Pada fosa nasalis (cavum nasi) yang dibagi dua oleh septum nasi pada garis medial, terdapat konka (superior, media, inferior) pada masing-masing dinding lateralnya. Konka media dan inferior ditutupi oleh epitel respirasi, sedangkan konka superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus untuk fungsi menghidu/membaui. Epitel olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/sel sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang melebar di permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai reseptor dan memiliki akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak),  sel basal (berbentuk piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga memudahkan akses neuron untuk membaui zat-zat. Adanya vibrisa, konka dan vaskularisasi yang khas pada rongga hidung membuat setiap udara yang masuk mengalami pembersihan, pelembapan dan penghangatan sebelum masuk lebih jauh.

epitel olfaktori, khas pada konka superior
Sinus paranasalis
Terdiri atas sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus ethmoidales dan sinus sphenoid, semuanya berhubungan langsung dengan rongga hidung. Sinus-sinus tersebut dilapisi oleh epitel respirasi yang lebih tipis dan mengandung sel goblet yang lebih sedikit serta lamina propria yang mengandung sedikit kelenjar kecil penghasil mukus yang menyatu dengan periosteum. Aktivitas silia mendorong mukus ke rongga hidung.
Faring
Nasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang berkontak dengan palatum mole, sedangkan orofaring dilapisi epitel tipe skuamosa/gepeng.
Laring
Laring merupakan bagian yang menghubungkan faring dengan trakea. Pada lamina propria laring terdapat tulang rawan hialin dan elastin yang berfungsi sebagai katup yang mencegah masuknya makanan dan sebagai alat penghasil suara pada fungsi fonasi. Epiglotis merupakan juluran dari tepian laring, meluas ke faring dan memiliki permukaan lingual dan laringeal. Bagian lingual dan apikal epiglotis ditutupi oleh epitel gepeng berlapis, sedangkan permukaan laringeal ditutupi oleh epitel respirasi bertingkat bersilindris bersilia. Di bawah epitel terdapat kelenjar campuran mukosa dan serosa.
Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang meluas ke dalam lumen laring: pasangan lipatan atas membentuk pita suara palsu (plika vestibularis) yang terdiri dari epitel respirasi dan kelenjar serosa, serta di lipatan bawah membentuk pita suara sejati yang terdiri dari epitel berlapis gepeng, ligamentum vokalis (serat elastin) dan muskulus vokalis (otot rangka). Otot muskulus vokalis akan membantu terbentuknya suara dengan frekuensi yang berbeda-beda.

epitel epiglotis, pada pars lingual berupa epitel gepeng berlapis dan para pars laringeal berupa epitel respiratori
Trakea
Permukaan trakea dilapisi oleh epitel respirasi. Terdapat kelenjar serosa pada lamina propria dan tulang rawan hialin berbentuk C (tapal kuda), yang mana ujung bebasnya berada di bagian posterior trakea. Cairan mukosa yang dihasilkan oleh sel goblet dan sel kelenjar membentuk lapisan yang memungkinkan pergerakan silia untuk mendorong partikel asing. Sedangkan tulang rawan hialin berfungsi untuk menjaga lumen trakea tetap terbuka. Pada ujung terbuka (ujung bebas) tulang rawan hialin yang berbentuk tapal kuda tersebut terdapat ligamentum fibroelastis dan berkas otot polos yang memungkinkan pengaturan lumen dan mencegah distensi berlebihan.

epitel trakea dipotong memanjang

epitel trakea, khas berupa adanya tulang rawan hialin yang berbentuk tapal kuda ("c-shaped")
Bronkus
Mukosa bronkus secara struktural mirip dengan mukosa trakea, dengan lamina propria yang mengandung kelenjar serosa , serat elastin, limfosit dan sel otot polos. Tulang rawan pada bronkus lebih tidak teratur dibandingkan pada trakea; pada bagian bronkus yang lebih besar, cincin tulang rawan mengelilingi seluruh lumen, dan sejalan dengan mengecilnya garis tengah bronkus, cincin tulang rawan digantikan oleh pulau-pulau tulang rawan hialin.

epitel bronkus
Bronkiolus
Bronkiolus tidak memiliki tulang rawan dan kelenjar pada mukosanya. Lamina propria mengandung otot polos dan serat elastin. Pada segmen awal hanya terdapat sebaran sel goblet dalam epitel. Pada bronkiolus yang lebih besar, epitelnya adalah epitel bertingkat silindris bersilia, yang makin memendek dan makin sederhana sampai menjadi epitel selapis silindris bersilia atau selapis kuboid pada bronkiolus terminalis yang lebih kecil. Terdapat sel Clara pada epitel bronkiolus terminalis, yaitu sel tidak bersilia yang  memiliki granul sekretori dan mensekresikan protein yang bersifat protektif. Terdapat juga badan neuroepitel yang kemungkinan berfungsi sebagai kemoreseptor.

epitel bronkiolus terminalis, tidak ditemukan adanya tulang rawan dan kelenjar campur pada lamina propria
Bronkiolus respiratorius
Mukosa bronkiolus respiratorius secara struktural identik dengan mukosa bronkiolus terminalis, kecuali dindingnya yang diselingi dengan banyak alveolus. Bagian bronkiolus respiratorius dilapisi oleh epitel kuboid bersilia dan sel Clara, tetapi pada tepi muara alveolus, epitel bronkiolus menyatu dengan sel alveolus tipe 1. Semakin ke distal alveolusnya semakin bertambah banyak dan silia semakin jarang/tidak dijumpai. Terdapat otot polos dan jaringan ikat elastis di bawah epitel bronkiolus respiratorius.
Duktus alveolaris
Semakin ke distal dari bronkiolus respiratorius maka semakin banyak terdapat muara alveolus, hingga seluruhnya berupa muara alveolus yang disebut sebagai duktus alveolaris. Terdapat anyaman sel otot polos pada lamina proprianya, yang semakin sedikit pada segmen distal duktus alveolaris dan digantikan oleh serat elastin dan kolagen. Duktus alveolaris bermuara ke atrium yang berhubungan dengan sakus alveolaris. Adanya serat elastin dan retikulin yang mengelilingi muara atrium, sakus alveolaris dan alveoli memungkinkan alveolus mengembang sewaktu inspirasi, berkontraksi secara pasif pada waktu ekspirasi secara normal, mencegah terjadinya pengembangan secara berlebihan dan pengrusakan pada kapiler-kapiler halus dan septa alveolar yang tipis.

bronkiolus terminalis, bronkiolus respiratorik, duktus alveolaris dan alveoli
Alveolus
Alveolus merupakan struktur berongga tempat pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara udara dan darah. Septum interalveolar memisahkan dua alveolus yang berdekatan, septum tersebut terdiri atas 2 lapis epitel gepeng tipis dengan kapiler, fibroblas, serat elastin, retikulin, matriks dan sel jaringan ikat. 
Terdapat sel alveolus tipe 1 yang melapisi 97% permukaan alveolus, fungsinya untuk membentuk sawar dengan ketebalan yang dapat dilalui gas dengan mudah. Sitoplasmanya mengandung banyak vesikel pinositotik yang berperan dalam penggantian surfaktan (yang dihasilkan oleh sel alveolus tipe 2) dan pembuangan partikel kontaminan kecil. Antara sel alveolus tipe 1 dihubungkan oleh desmosom dan taut kedap yang mencegah perembesan cairan dari jaringan ke ruang udara.
Sel alveolus tipe 2 tersebar di antara sel alveolus tipe 1, keduanya saling melekat melalui taut kedap dan desmosom. Sel tipe 2 tersebut berada di atas membran basal, berbentuk kuboid dan dapat bermitosis untuk mengganti dirinya sendiri dan sel tipe 1. Sel tipe 2 ini memiliki ciri mengandung badan lamela yang berfungsi menghasilkan surfaktan paru yang menurunkan tegangan alveolus paru.
Septum interalveolar mengandung pori-pori yang menghubungkan alveoli yang bersebelahan, fungsinya untuk menyeimbangkan tekanan udara dalam alveoli dan memudahkan sirkulasi kolateral udara bila sebuah bronkiolus tersumbat.

alveolus
Sawar darah udara dibentuk dari lapisan permukaan dan sitoplasma sel alveolus, lamina basalis, dan sitoplasma sel endothel.

sawar udara-kapiler
Pleura
Pleura merupakan lapisan yang memisahkan antara paru dan dinding toraks. Pleura terdiri atas dua lapisan: pars parietal dan pars viseral. Kedua lapisan terdiri dari sel-sel mesotel yang berada di atas serat kolagen dan elastin.
Referensi:
  1. Junqueira LC, Carneiro J. Histologi Dasar Teks & Atlas. 10th ed. Jakarta: EGC; 2007. p. 335-54.
  2. Kuehnel. Color Atlas of Cytology, Histology, and Microscopic Anatomy. 4th ed Stuttgart: Thieme; 2003. p. 340-51.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants For Single Moms